√ Putusan MK Bisa Diamputasi, Ketika DPR Tidak Punya Etika, Moral, dan Akhlak yang Menyisakan Rasa Malu- Portal News - Media Investigasi Pembaharuan Nasional

Jelajahi

Copyright © Portal News
Created with by Portal News
PT ZIB Group Templates

Iklan

Hot Widget

iklan-portal-news

Putusan MK Bisa Diamputasi, Ketika DPR Tidak Punya Etika, Moral, dan Akhlak yang Menyisakan Rasa Malu

Kamis, 22 Agustus 2024, Agustus 22, 2024 WIB Last Updated 2024-08-21T21:37:58Z


Luwu, Portal News - Dalam perkembangan terbaru dunia politik Indonesia, perhatian publik kembali tertuju pada sikap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang dinilai kian jauh dari norma etika, moral, dan akhlak yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para wakil rakyat di Pusat. 


Hal ini mencuat setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana yang telah di gugat dengan putusan Nomor : 60/PPU-XXII/2024 terkait pasal 40 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang MK pada 20 Agustus 2024 oleh Partai Buruh dan Gelora sehingga beberapa kalangan menilai dan menganggap bisa diamputasi atau dikebiri oleh kekuatan politik di parlemen.


Dalam beberapa kesempatan, DPR kerap kali menunjukkan ketidakpekaan terhadap aspirasi rakyat dan nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi landasan dalam pengambilan keputusan. Sikap semacam ini dinilai mencerminkan krisis moral yang mengakar di lembaga legislatif, di mana kepentingan kelompok atau partai politik lebih diutamakan dibandingkan kepentingan bangsa dan negara.


Padahal Putusan MK yang sejatinya berfungsi sebagai penjaga konstitusi dan keadilan, kini berada di bawah ancaman oleh tindakan Anggota DPR RI yang terkesan semena-mena. Sehingga Sekretaris Partai Buruh Exco Luwu, Zainuddin, SE menilai hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas moral dan etika para anggota DPR, yang semestinya menjadi teladan bagi masyarakat. Rasa malu dan kekecewaan tidak dapat disembunyikan oleh rakyat yang melihat bagaimana putusan yang seharusnya dihormati, kini bisa diintervensi dan diabaikan begitu saja saat di mintai tanggapannya terkait polemik atas adanya putusan MK.


"Kan sudah jelas Putusan MK menyatakan bahwa ambang batas (threshold) tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara dari partai politik/ gabungan partai politik hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) DPRD yang sebelumnya, atau 20 persen dari jumlah kursi DPRD. Karena MK telah memutuskan threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik sama dengan threshold pencalonan kepala daerah lewat jalur independen/ perseorangan/ non partai sebagaimana diatur dalam pasal 41 dan pasal 42 UU Pilkada. Jadi atas dasar putusan MK ini, threshold untuk calon Gubernur, Bupati dan Walikota hanya diperlukan 7,5 persen suara pada pileg sebelumnya." Ungkap Zainuddin pada media ini. Rabu,(21/8) Malam.


Lanjut Sekretaris Partai Buruh Exco Luwu yang di kenal sangat kritis menjelaskan bahwa keadaan ini menggarisbawahi pentingnya reformasi di tubuh DPR, baik dari segi integritas pribadi maupun komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap wakil rakyat. Tanpa adanya kesadaran akan pentingnya etika, moral, dan akhlak dalam menjalankan tugas, maka masa depan hukum dan keadilan di negeri ini akan semakin suram.


Hanya dengan mengedepankan moralitas dan integritas, DPR dapat kembali meraih kepercayaan rakyat dan berperan sebagai wakil yang benar-benar membela kepentingan publik, bukan hanya kepentingan segelintir pihak. Sebaliknya, jika keadaan ini dibiarkan, rasa malu dan ketidakpercayaan publik terhadap DPR akan terus meningkat, dan dampaknya akan sangat merugikan demokrasi di Indonesia.


Tentu saja pertandingan akan sangat seru dan menarik melihat persaingan permainan antara segelintir partai menghadapi seabrek koalisi partai yang sudah diborong habis hingga menyisakan satu tiket yang membawa harapan banyak orang untuk bisa mengubah keadaan yang sudah sumpek dan pengap.


"Dengan adanya rapat Panja DPR RI di Senayan yang berlangsung pada hari Rabu, 21 Agustus 2024. Telah jalan buntu bagi pasangan lain untuk Calon Kepala Daerah (CAKADA) di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang sudah kehabisan tiket menjadi terbuka kembali untuk ikut kontestasi. Sehingga putusan MK itu, mengisyaratkan kepada masyarakat Indonesia terhadap perilaku Anggota Perwakilan Rakyat di Senayan untuk disimak lagi dengan cermat secara seksama. Apakah sesungguhnya wakil rakyat masih mau mendengan dan meneruskan suara rakyat, sebagai suara Tuhan." Kata Zainuddin sapaan Akrab Ajis Portal.


Pihaknya menilai Krisis kepercayaan terhadap DPR bukanlah isu baru dalam beberapa tahun terakhir, banyak keputusan dan tindakan yang diambil oleh para wakil rakyat justru menimbulkan polemik di masyarakat. Dari kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR hingga pembahasan undang-undang yang dinilai tidak pro-rakyat, semuanya memperkuat persepsi publik bahwa DPR semakin kehilangan jati diri sebagai representasi dari kehendak rakyat. Termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagai produk hukum tertinggi di Indonesia, seharusnya dijadikan panduan dan dihormati tanpa terkecuali. Namun, dalam situasi di mana kepentingan politik lebih diutamakan, putusan MK sering kali dipandang sebagai penghalang yang harus disingkirkan atau diubah sesuai dengan kepentingan tertentu. Hal ini mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk melemahkan institusi hukum demi keuntungan politis jangka pendek.



Lebih dari itu, kondisi ini menyoroti kegagalan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi secara benar dan berintegritas. Ketika etika dan moralitas tak lagi menjadi acuan, maka yang tersisa hanyalah permainan kekuasaan yang tidak lagi mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat luas. Sikap seperti ini tidak hanya merugikan citra DPR sebagai lembaga legislatif, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi secara keseluruhan.

"Jika kita merajuk pada Pasal 40 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 menyebutkan Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon kepala daerah menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bertentangan dengan asas demokrasi dan undang undang dasar 1945 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai hak dipilih dan memilih, keikutsertaan dalam kontestasi pemilihan umum maupun kepala daerah" lanjutnya lagi


Rakyat tentunya berharap agar para wakilnya di DPR memiliki integritas dan menjunjung tinggi etika dalam menjalankan tugasnya. Namun, realitas yang ada justru sebaliknya, di mana kepentingan pribadi dan kelompok sering kali lebih mendominasi daripada aspirasi rakyat. Kekecewaan dan rasa malu yang dirasakan masyarakat harus menjadi peringatan bagi DPR untuk segera melakukan introspeksi diri dan di butuhkan Reformasi etika dan moral yang ada di tubuh DPR  untuk memastikan bahwa putusan-putusan penting, seperti yang dikeluarkan oleh MK, tidak akan lagi diamputasi atau dilemahkan oleh kepentingan politik sesaat. Sebaliknya, DPR harus berdiri sebagai garda depan dalam menegakkan keadilan dan konstitusi, dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya.


"Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dampaknya tidak hanya akan merusak sistem hukum dan demokrasi di Indonesia, tetapi juga akan mengikis rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara. Ini adalah saat yang tepat bagi DPR untuk membuktikan bahwa mereka masih memiliki integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai moral dan etika yang menjadi dasar dari tugas mereka sebagai wakil rakyat. Hanya dengan cara ini, rasa malu yang kini dirasakan oleh masyarakat dapat berangsur hilang, digantikan oleh rasa bangga terhadap lembaga legislatif yang benar-benar bekerja untuk rakyat" Ujarnya


Sehingga Krisis kepercayaan terhadap DPR bukanlah isu baru. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak keputusan dan tindakan yang diambil oleh para wakil rakyat justru menimbulkan polemik di masyarakat. Dari kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR hingga pembahasan undang-undang yang dinilai tidak pro-rakyat, semuanya memperkuat persepsi publik bahwa DPR semakin kehilangan jati diri sebagai representasi dari kehendak rakyat.


Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagai produk hukum tertinggi di Indonesia, seharusnya dijadikan panduan dan dihormati tanpa terkecuali. Namun, dalam situasi di mana kepentingan politik lebih diutamakan, putusan MK sering kali dipandang sebagai penghalang yang harus disingkirkan atau diubah sesuai dengan kepentingan tertentu. Hal ini mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk melemahkan institusi hukum demi keuntungan politis jangka pendek.


Tak hanya itu, "Tondisi ini menyoroti kegagalan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi secara benar dan berintegritas. Ketika etika dan moralitas tak lagi menjadi acuan, maka yang tersisa hanyalah permainan kekuasaan yang tidak lagi mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat luas. Sikap seperti ini tidak hanya merugikan citra DPR sebagai lembaga legislatif, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi secara keseluruhan" Kunci Ajis.


Rakyat tentunya berharap agar para wakilnya di DPR memiliki integritas dan menjunjung tinggi etika dalam menjalankan tugasnya. Namun, realitas yang ada justru sebaliknya, di mana kepentingan pribadi dan kelompok sering kali lebih mendominasi daripada aspirasi rakyat. Kekecewaan dan rasa malu yang dirasakan masyarakat harus menjadi peringatan bagi DPR untuk segera melakukan introspeksi diri.


Sehingga Reformasi etika dan moral di tubuh DPR menjadi sangat mendesak untuk memastikan bahwa putusan-putusan penting, seperti yang dikeluarkan oleh MK, tidak akan lagi diamputasi atau dilemahkan oleh kepentingan politik sesaat. Sebaliknya, DPR harus berdiri sebagai garda depan dalam menegakkan keadilan dan konstitusi, dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya.


Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dampaknya tidak hanya akan merusak sistem hukum dan demokrasi di Indonesia, tetapi juga akan mengikis rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara. Ini adalah saat yang tepat bagi DPR untuk membuktikan bahwa mereka masih memiliki integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai moral dan etika yang menjadi dasar dari tugas mereka sebagai wakil rakyat. Hanya dengan cara ini, rasa malu yang kini dirasakan oleh masyarakat dapat berangsur hilang, digantikan oleh rasa bangga terhadap lembaga legislatif yang benar-benar bekerja untuk rakyat. (Red).
Silahkan Komentar Anda

Tampilkan


Portal Update


PORTAL OLAHRAGA

+

PORTAL OTOMOTIF

+

X
X
×
BERITA UTAMA NEWS
-->