√ Putusan MK: Pejabat Daerah dan Anggota TNI/Polri Bisa Dipidana Bila tak Netral di Pilkada- Portal News - Media Investigasi Pembaharuan Nasional

Jelajahi

Copyright © Portal News
Created with by Portal News
PT ZIB Group Templates

Iklan

Hot Widget

iklan-portal-news

Putusan MK: Pejabat Daerah dan Anggota TNI/Polri Bisa Dipidana Bila tak Netral di Pilkada

Minggu, 17 November 2024, November 17, 2024 WIB Last Updated 2024-11-17T08:39:01Z


Jakarta, Portal News - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pejabat daerah serta anggota TNI dan Polri yang melanggar prinsip netralitas selama pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dapat dikenakan sanksi pidana.


Putusan ini muncul sebagai respons terhadap berbagai tantangan terkait netralitas aparat dan pejabat pemerintah dalam proses demokrasi tersebut, yang dianggap krusial untuk menjaga keadilan serta kredibilitas hasil Pilkada.


Dalam putusan perkara MK yang termuat nomor 136/PUU-XII/2024. Prinsip yang dilanggar bisa berupa membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada, bisa dijatuhi pidana penjara dan/atau denda.


Hal ini menegaskan bahwa netralitas pejabat daerah, TNI, dan Polri merupakan aspek fundamental dalam pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil. 


Mereka menilai pelanggaran netralitas ini dapat berpengaruh langsung pada proses demokrasi, sehingga diperlukan langkah tegas untuk mencegah ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga MK menyatakan bahwa mereka yang terbukti berpihak atau mempengaruhi proses Pilkada dengan cara yang tidak netral bisa dikenai hukuman pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.sebagaimana dikutip dari Tempo yang berjudul "Putusan MK: Pejabat Daerah dan Anggota TNI/Polri Bisa Dipidana Bila tak Netral di Pilkada" pada tanggal 16 November 2024 | 08.46 WIB


“Putusan ini mempertegas komitmen negara untuk menegakkan prinsip netralitas dalam Pilkada, dan sanksi yang diatur bertujuan untuk menegakkan disiplin serta mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat daerah maupun aparat negara,” demikian bunyi salah satu bagian dari pertimbangan MK.


Keputusan ini diharapkan menjadi peringatan keras bagi pejabat dan aparat yang berpotensi terlibat dalam aktivitas politik praktis, yang bisa merugikan prinsip demokrasi. MK juga menekankan pentingnya semua pihak menjaga integritas dan profesionalisme dalam menghadapi pemilu, agar kepercayaan publik terhadap proses Pilkada tetap terjaga.


Putusan tersebut menegaskan bahwa demokrasi yang sehat dan adil memerlukan pengawasan ketat dan komitmen bersama dari semua pihak untuk menegakkan hukum dan keadilan tanpa kompromi. 


Ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.


"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis dilansir dari Antara. 



Ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Baca berita dengan sedikit iklan,
klik di sini


"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis dilansir dari Antara. 


Selain itu, Pasal 188 UU 1/2015 yang dikabulkan tersebut berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”

MK menyebutkan bahwa pasal tersebut merupakan norma yang berpasangan dengan Pasal 71. Dalam dinamikanya, Pasal 71 mengalami perubahan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pada ayat (1).


Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa putusan ini tidak hanya berfungsi sebagai alat hukum untuk menindak pelanggaran, tetapi juga sebagai peringatan moral dan etis. Prinsip netralitas aparat negara dalam Pilkada tidak bisa dianggap enteng, karena melibatkan kepentingan besar yang memengaruhi stabilitas politik dan sosial di tingkat daerah maupun nasional. MK menekankan bahwa netralitas ini merupakan bagian dari tanggung jawab konstitusional yang harus dihormati oleh setiap individu yang memegang jabatan publik.




Ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Baca berita dengan sedikit iklan,
klik di sini


"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis dilansir dari Antara. 


Pasal 188 UU 1/2015 yang dikabulkan tersebut berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”


MK menyebutkan bahwa pasal tersebut merupakan norma yang berpasangan dengan Pasal 71. Dalam dinamikanya, Pasal 71 mengalami perubahan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pada ayat (1). Sedangkan Dalam UU 1/2015, Pasal 71 ayat (1) hanya memuat.


“Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye. Dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 terdapat penambahan dua subjek hukum baru, yakni "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri".


Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, faktanya perubahan tersebut tidak dimasukkan ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder. Terlebih lagi, UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.


MK mengatakan kondisi tersebut berimplikasi pada tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap dua subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.


Sebagai norma sekunder, Pasal 188 UU 1/2015 memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma primernya, yakni Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016, tidak dipatuhi atau dilanggar.


"Dalam hal ini, Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut setelah perubahan UU 1/2015," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan MK.


Atas dasar itu, MK menyimpulkan dalil permohonan uji materi yang diajukan oleh seorang konsultan hukum, Syukur Destieli Gulo, ini beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dengan demikian, Pasal 188 UU 1/2015 kini selengkapnya menjadi berbunyi :


"Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00."


Para pakar hukum menilai bahwa keputusan MK ini memiliki implikasi yang signifikan dalam mengatur peran pejabat dan aparat keamanan selama masa kampanye dan pemungutan suara. 


Misalnya, keterlibatan dalam kampanye politik, memberikan dukungan terbuka kepada kandidat tertentu, atau memanfaatkan fasilitas negara untuk keperluan politik adalah tindakan-tindakan yang kini berisiko besar mendapat sanksi pidana.


Beberapa contoh kasus pelanggaran netralitas sebelumnya sering kali berakhir dengan sanksi administratif. Namun, dengan adanya putusan ini, pelanggaran semacam itu bisa langsung diproses secara pidana, yang diharapkan memberikan efek jera yang lebih kuat. Hal ini, menurut pengamat, akan mengurangi potensi konflik kepentingan dan meningkatkan kualitas demokrasi di daerah.


Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyambut baik keputusan MK ini. Mereka menilai bahwa regulasi yang lebih ketat akan memperkuat pengawasan yang ketat dan pelaksanaan Pilkada yang netral. Pejabat daerah dan aparat keamanan, untuk memastikan mereka mematuhi prinsip netralitas secara ketat.


Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada demokrasi juga mengapresiasi keputusan ini. Mereka berharap sanksi pidana yang diatur tidak hanya menjadi aturan di atas kertas, tetapi benar-benar diterapkan di lapangan.


"Putusan ini bisa menjadi langkah maju dalam memperbaiki kualitas demokrasi lokal, tetapi yang lebih penting adalah penegakan hukumnya," ujar salah satu aktivis pemilu. Andrian saat dimintai tanggapannya. Minggu, (16/11) Sekira pukul : 14:29 (WITA) Siang di Jakarta.


Dengan keluarnya putusan ini, tantangan baru pun muncul, terutama dalam pelaksanaan dan pengawasan hukum di lapangan. Masyarakat diimbau untuk turut serta mengawasi dan melaporkan jika menemukan indikasi pelanggaran netralitas oleh pejabat atau aparat. (Red)
Silahkan Komentar Anda

Tampilkan


Portal Update


X
X
×
BERITA UTAMA NEWS
-->