√ Tokoh Pers Nasional, Prof Salim Said Berpulang, Ini Sekelumit Riwayat Hidup Pengamat Militer Asal Amparita Sidrap Itu- Portal News - Media Investigasi Pembaharuan Nasional

Jelajahi

Copyright © Portal News
Created with by Portal News
PT ZIB Group Templates

Iklan

Iklan

iklan-portal-news

Tokoh Pers Nasional, Prof Salim Said Berpulang, Ini Sekelumit Riwayat Hidup Pengamat Militer Asal Amparita Sidrap Itu

Minggu, 19 Mei 2024, Mei 19, 2024 WIB Last Updated 2024-05-19T04:00:25Z


PORTAL 
NEWS -- Bangsa ini kehilangan satu lagi tokoh pemikir nasional, yang namanya melegenda sebagai bukan saja tokoh pers tapi pengamat politik, pengamat militer dan tokoh perfilman nasional serta mantan Duta Besar RI di Republik Cekoslovakia.


Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.


Tepat di hari Sabtu 18 Mei 2024 pukul 19.33 WIB, Professor Salim Said meninggal dunia setelah sempat dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.


Namun, sebelum lanjut membaca berita kami, jangan lupa follow/subscribe kanal Youtube kami PORTAL TV di LINK  ini ya? Dengan features menarik setiap pekannya. 


Kabar meninggalnya Salim Said dikonfirmasi oleh istrinya, Herawaty, dalam pesan singkat yang diterima sejumlah wartawan di Jakarta, Sabtu malam.


Jenazah Salim disemayamkan di rumah duka di Jalan Redaksi Nomor 149, Kompleks Wartawan PWI, Cipinang, Jakarta Timur.


Rencananya, jenazah Salim Said akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pada Minggu 19 Mei 2024 siang.


Salim Said tutup usia pada umur 80 tahun. 


Salim adalah seorang akademisi yang lahir pada 10 November 1943  lahir di sebuah desa bernama Amparita, sebuah wilayah yang pada saat masa Hindia Belanda merupakan bagian dari Afdeling Parepare (saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Sidenreng Rappang). 


Salim menempuh pendidikan di beberapa lembaga pendidikan. Salim mengawali pendidikan tinggi di Akademi Teater Nasional Indonesia (1964-1965). 


Ia kemudian kuliah S1 di Fakultas Psikologi UI (1966-1967). Namun, Salim tak menyelesaikan studinya itu. Ia memilih melanjutkan studi S1 di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta (1976). 


Salim melanjutkan S2 di jurusan Hubungan Internasional Ohio University, Amerika Serikat (1980). Setelah itu, Salim kuliah lagi S2 di jurusan Ilmu Politik Ohio State University, Amerika Serikat (1983). 


Dalam dunia pendidikan, Prof. Salim Said aktif mengajar di sejumlah kampus bergengsi, seperti Sekolah Ilmu Sosial Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Prof. Salim Said juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia serta Thammasat University, Bangkok, Thailand.


Prestasinya di bidang pendidikan turut diabadikan oleh Universitas Islam Indonesia (UII) yang memberi nama Salim Said Corner di perpustakaan pusat kampus tersebut. Ini merupakan penghargaan atas sumbangsihnya sebanyak 10.000 buku untuk perpustakaan UII.


Lalu, Salim melanjutkan S3 di jurusan Ilmu Politik Ohio State University, Amerika Serikat (1985). 


Salim memulai kariernya di bidang jurnalistik sebagai redaktur di beberapa media, seperti Pelopor Baru, Angkatan Bersenjata, dan wartawan majalah Tempo (1971-1987). 


Selain itu, Salim juga aktif mengajar di Sekolah Ilmu Sosial Jakarta. 


Salim juga pernah menjadi anggota Dewan Film Nasional dan Dewan Kesenian Jakarta. Ia kerap berdiskusi mengenai film, sejarah, sosial, dan politik.


Karya Salim banyak dimuat di berbagai publikasi seperti Mimbar Indonesia, Bahasa dan Budaya, Horison, dan Budaya Jaya. 


Karyanya yang terkenal dalam dunia perfilman adalah buku berjudul Profil Dunia Perfilman Indonesia (1982), yang kerap menjadi rujukan dalam studi film di Indonesia.


Masih banyak beberapa karya yang dihasilkan Salim. Di antaranya, Dari Festival ke Festival: Film-film Manca Negara dalam Pembicaraan, Militer Indonesia dalam Politik, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000, dan Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian.



Salim mengikuti pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia (1964-1965), Fakultas Psikologi UI (1966-1967), tamat Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (1977), dan meraih Ph.D. dari Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat (1985).


Ia pernah menjadi redaktur Pelopor Baru, Angkatan Bersenjata, dan redaktur majalah Tempo (1971-1987). 


Salim pernah mengajar di Sekolah Ilmu Sosial dan menjadi anggota Dewan Film Nasional.


Sebagai anggota dari Dewan Film Nasional dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), ia sering berpartisipasi dalam diskusi tentang film, sejarah, sosial dan politik Indonesia dalam tingkat nasional maupun internasional.


Hasil karya buku yang ia tulis ialah Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak, Profil Dunia Film Indonesia dan masih banyak lagi. 


Tulisan-tulisannya mengenai sastra dimuat dalam berbagai media tempoe doeloe saat itu, yakni Mimbar Indonesia, Bahasa dan Budaya, Horison, Budaya Jaya, dan lain-lain. 


Selain itu, ia juga banyak menulis tentang film. Bukunya yang tentang film berjudul Profil Dunia Perfilman Indonesia (1982).


Buku karyanya:


Profil Dunia Film Indonesia (1982)

Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak (2001)

Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013)

Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto (edisi diperkaya, 2018)


Biodata Singkat Almarhum:

Lahir 10 November 1943

Amparita, Afdeling Parepare, Hindia Belanda (Kini Sidrap, Sulsel).


Meninggal 18 Mei 2024 (umur 80)

RSCM, Jakarta Pusat, Indonesia


Pendidikan :

- Jurusan Sosiologi FISIP (S1) Universitas Indonesia, Jakarta (1976)

- Ohio University, Athens, Ohio, Amerika Serikat (MA bidang hubungan internasional, 1980)

- Ohio State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat (MA bidang ilmu politik, 1983)

- Ohio State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat (PhD bidang ilmu politik, 1985)


Karir :

- Koresponden luar negeri dan kritik film untuk majalah TEMPO (1971-1979)

- Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1990-1998)

- Dosen di Sekolah Ilmu Sosial Jakarta (1987-1990)

- Dosen FISIP Universitas Indonesia (1994)

- Dosen tamu di Universiti Malaya, Kuala Lumpur (1997)

- Dosen Tamu di Tammasat University, Bangkok, Thailand (1999)

- Profesor Tamu di Ohio University, Athens, Ohio, Amerika Serikat (2001-2002)

- Anggota MPR (1998-1999)


Karya :

- Profil Dunia Film Indonesia (1982)

- Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-49 (1991)

- Shadows on the Silver Screen: A Social History of Indonesian Film (1991)

- Dari Festival ke Festival (1995)

- Militer Indonesia dalam Politik (2001)

- Wawancara Tentang Tentara dan Politik (2001)


Keluarga :

Ayah : Haji Said Ibu : Hajjah Salmah Istri : Herawaty Anak : Amparita


Alamat Rumah :

Jalan Redaksi J. 149, Kompleks PWI, Cipinang Muara, Jakarta Timur Telepon (021) 8196757


Alamat Kantor :

Banking Reform and Reconstruction Corporation, Manggala Wana Bakti, Blok IV, Lantai 8, Wing B, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat



Salim Said


Orang mengenalnya sebagai pengamat militer. Padahal, secuil pun ilmu dari akademi militer tak pernah ia cicipi. Salim Said jadi pengamat militer memang lantaran ia mendalami dan mengkaji masalah militer ketika mengambil gelar doktornya di Ohio University. Desertasi doktornya di sebuah perguruan Amerika itu bertema "Sejarah dan Politik Tentara Indonesia". 


Sejak itu, kata lelaki kelahiran Parepare (Sidrap), Sulawesi Selatan, ini,  "Saya dianggap sebagai orang yang tahu banyak soal militer."


Jauh sebelum itu, Salim malah lebih dikenal sebagai kritikus film. Bahkan, mantan wartawan TEMPO ini pernah menulis buku tentang film. "Sudah tiga buku saya tulis tentang film, di antaranya Sejarah Sosial Film Indonesia," ujar Salim yang di zaman Orde Baru ini pernah menjadi komentator film di televisi.


Penulisan seputar film dimulainya sejak ia ditugasi mengisi salah satu rubrik di majalah TEMPO. 


"Hasilnya, sembilan tahun kemudian, saya menulis skripsi tentang film," tutur Salim, yang kala itu masih belajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.


Kegiatan tulis menulis telah diakrabinya sejak kecil. 


"Ketika saya mulai suka mengarang dan dimuat di media, ayah saya sangat bangga," kenang Salim. Sebab ayahnya sendiri gemar menulis, tetapi tulisannya tidak pernah dimuat di satu media pun.


Intelektualitas dan prestasi Salim tampaknya tak terlepas dari peran sang ayah yang selalu diingatnya. "Suatu ketika, saya minta dibelikan bola," papar pengamat bersuara lantang ini. 


"Tapi Ayah menolaknya. Tetapi kalau saya minta buku, di manapun akan dia cari," cerita Salim. Ayahnya sendiri gemar membaca, yang secara rutin mencari majalah dan surat kabar terbitan Jawa dan Sumatera. Soalnya, waktu itu, tempat tinggal tinggal mereka di Parepare terbilang langka bacaan bermutu.


Beranjak remaja, bakat menulis Salim kian terbentuk siap terjun ke dunia yang hiruk-pikuk itu. Peluang terjun ke dunia jurnalistik datang pada awal 1965, dimulai dengan menjadi wartawan di harian Angkatan Bersenjata. 


"Waktu itu, semua media telah dikuasai PKI dan underbouw-nya. Bagi saya, bekerja di Angkatan Bersenjata adalah setengah untuk cari makan dan setengah perjuangan," kata Salim, yang menggunakan sebagian penghasilannya untuk membiayai pendidikannya.


Perjuangan yang digeluti Salim dan banyak orang saat itu adalah bagaimana menggempur dominasi komunis. "Waktu itu, saya masih sangat muda, sekitar 21 tahun. Tidak terlalu banyak yang saya tahu. Saya hanya khawatir kalau komunis berkuasa, negeri kita seperti Uni Soviet maupun Cina," tutur Salim. Setelah perjuangan merontokkan PKI berhasil pada 1966, tahun 1970 termasuk dalam kelompok wartawan muda, bersama Goenawan Mohamad, Fikri Jufri dan lain-lain mendirikan TEMPO, majalah berita mingguan. Bahkan selama menyelesaikan pendidikannya di Ohio, ia tetap membantu menjadi koresponden majalah itu di Amerika.


"Kami semua yang di TEMPO waktu itu pendukung Orde Baru. Kita juga mendukung Golkar, karena awalnya kita semua mempunyai harapan adanya perubahan," tukas Salim. Setelah Peristiwa Malari, arah politik mulai menyimpang dari cita-cita semula dan mereka pun menarik dukungan terhadap orde pimpinan Soeharto itu.


Sekembali ke Tanah Air, Salim kembali bekerja penuh di TEMPO. Tapi hanya bertahan setahun, dan keluar pada 1987. Kenapa? "Panjang ceritanya. Dan saya tidak mau mengungkit-ungkit lagi. Bagi saya itu luka lama, mungkin karena saya tidak cocok saja. Waktu itu juga terjadi eksodus sejumlah wartawan TEMPO ke majalah Editor." Meskipun tadinya orang mengira termasuk kelombok yang "kabur" ke Editor, tambahnya, "Namun saya bukan bagian dari eksodus itu."


Sekeluar dari TEMPO, Salim dan teman-temannya pernah mencoba menerbitkan media baru. Namun tak pernah berhasil. "Kami tidak mau terima dana dari orang-orang yang dekat dengan Orde Baru," katanya mengungkapkan alasan. Sejak itulah ia memulai kariernya sebagai ilmuwan politik. "Itu yang saya lakukan sampai sekarang," ucap Salim.


Istrinya, Herawaty, diakuinya banyak berperan bagi pengembangan kariernya. Selain sebagai ibu rumah tangga, istrinya juga menjadi kepala perpustakaan merangkap asisten peneliti. Tak heran, jika ke mana pun Salim pergi, Nyonya Herawaty selalu menyertainya. "Kegiatan kami bisa lebih lancar karena hanya memiliki seorang anak," kata Salim. Mengapa hanya memiliki satu anak, karena ia ingin menjamin keberhasilan pendidikan si anak tunggal.


Tampaknya Salim dan ayahnya sama, amat peduli pada pendidikan keturunan mereka. Ia jadi teringat ketika ayahnya mengajaknya ke kantor pos untuk menabung. "Ayah mengatakan, tabungan ini untuk membiayai pendidikan saya di masa depan. Sebab, hanya pendidikan yang bisa mengubah nasibmu," kisah Salim, yang pernah menjadi dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di mancanegara.


(*/Red) 

Yuk! baca artikel menarik lainnya PORTAL NEWS di GOOGLE NEWS

Ikuti saluran WhatsApp PORTAL NEWS – DI SINI

Jangan lupa subscribe dan ikuti Video lainya  di Channel Youtube Portal TV

Silahkan Komentar Anda

Tampilkan


Portal Update


X
X
×
BERITA UTAMA NEWS
-->