√ Mengintip Popularitas Tokoh di Google Trends, Bisakah Dipercaya Publik Sebagai Pengganti Survei?- Portal News - Media Investigasi Pembaharuan Nasional

Jelajahi

Copyright © Portal News
Created with by Portal News
PT ZIB Group Templates

Iklan

Hot Widget

iklan-portal-news

Mengintip Popularitas Tokoh di Google Trends, Bisakah Dipercaya Publik Sebagai Pengganti Survei?

Sabtu, 07 Oktober 2023, Oktober 07, 2023 WIB Last Updated 2023-10-07T02:58:45Z

Mengintip Popularitas Tokoh di Google Trends, Bisakah Dipercaya Publik Sebagai Pengganti Survei?

PORTAL NEWS
-- Di era digitalisasi seperti saat ini, turut memengaruhi perkembangan teknologi dan informasi, termasuk dalam bidang politik.


Apalagi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2024 mendatang, setiap Calon Presiden (Capres) mulai membangun citra mereka melalui bantuan internet.


Kini, popularitas seorang Capres juga dapat dibangun tanpa harus turun atau blusukan ke pelosok masyarakat untuk dapat meraup perhatian masyarakat.


Citra yang dibangun dan ramah kepada setiap elemen masyarakat akan dibangun sedemikian rupa, untuk menyukseskan dirinya menjadi presiden selanjutnya.


Sebut saja nama-nama bakal calon presiden (Bacapres) seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto yang digadang-gadang akan meramaikan kontestasi Pilpres 2024 nanti.


Meskipun sebenarnya pasangan Capres-cawapres masih baru ditetapkan pada Oktober 2023 kelak, mereka akan berlomba agar bisa dikenal oleh semua kalangan masyarakat yang ada di seluruh Indonesia.


Salah satunya melalui Google Trends, yang dapat digunakan sebagai penghimpun tren atau perbincangan hangat yang sedang terjadi.


Google Trends merupakan layanan yang menyediakan data tentang jumlah pencarian suatu topik atau kata kunci di mesin pencari Google dalam kurun waktu tertentu.


Misalnya saja, berdasarkan data Google Trends periode 30 September 2023, Bacapres Anies Baswedan mendapat rata-rata pencarian di angka 48.


Sementara Ganjar Pranowo mendapat angka 58, dan Prabowo Subianto yang mendapat angka 59.


Berdasarkan data tersebut, dapat tergambarkan Bacapres Prabowo Subianto yang untuk sementara mengungguli dua Bacapres lainnya.


Menurut data dari We Are Social 2023, pengguna internet aktif yang ada di Indonesia berjumlah 212,9 juta penduduk.


Hal itu mewakili sejumlah 77% dari total populasi masyarakat Indonesia, yang berjumlah 276,4 juta penduduk.


Selain itu, pengguna media sosial aktif berjumlah 167 juta penduduk, atau 60,4 % dari total populasi yang ada.


Para Bacapres pun terlihat memiliki akun media sosial yang aktif, sehingga terkadang menyapa dan memberi perkembangan terkait kehidupannya kepada masyarakat yang ada melalui akunnya masing-masing. 


Beberapa Survei Ternyata Omong Kosong


Melansir Kompasiana, di Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mungkin sosok yang mempopulerkan "politik survei" untuk membentuk persepsi publik. Sekitar tahun 2009, Pilpres yang membosankan dimana SBY sudah pasti menang.


Hingga muncul lelucon bahwa "Meskipun dipasangkan dengan kambing, SBY tetap akan menang pilpres" melihat elektabilitas SBY tak tertandingi waktu itu.


Lembaga survei semakin populer selepas itu. Selain karena kecepatan informasi dalam proses pemilu yang menjadi acuan informal sementara, juga digunakan beberapa pihak untuk menentukan strategi kampanye berdasarkan data yang empiris. Lembaga survei makin menjamur. Namun, hanya sedikit yang rela "menjual" kredibilitas yang dimiliki untuk menerima pesanan dari tokoh politik.


Namun, Pilkada DKI 2017 lalu menjadi bukti sahih bahwa tak selamanya survei menjadi gambaran preferensi pemilih yang sesungguhnya.


Banyak lembaga survei mengunggulkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat memenangi pilkada mengungguli penantang putaran kedua, Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Tapi, hasil akhir membuktikan bahwa Anies-Sandiaga lah yang menjadi pemimpin DKI selanjutnya.


Banyak yang berspekulasi tentang kemenangan penantang petahana secara tidak langsung dipengaruhi oleh isu SARA yang membelit Ahok.


Ya, secara bersamaan Ahok terlibat kasus penistaan agama akibat pernyataam kontroversial tentang salah satu ayat dalam Al Quran. Hal ini membangkitkan emosi umat Islam yang dimanfaatkan menjadi momentum menurunkan elektabilitas Ahok.


Namun, kajian terbaru menunjukkan bahwa bukan isu SARA yang menjadi faktor utama Ahok kalah. Namun, ketidakadilan di beberapa wilayah serta ketidakpuasan atas kebijakan dan sikap kontroversial Ahok lah yang mendorong, umumnya masyarakat kecil yang dirugikan, untuk tidak memilih Ahok.


Ini diungkapkan oleh peneliti dari University of Murdoch, Ian Wilson asal Australia. Suara-suara kecil inilah yang diakumulasikan oleh kubu penantang dalam menyusun strategi pemenangan yang gemilang.


Seperti yang dikatakan Seth dalam bukunya, bahwa semua orang kerap berbohong tak hanya kepada orang lain, namun kepada dirinya sendiri pula. Inilah terkadang menjadi penyebab tidak akuratnya survei, meskipun terdapat margin of error yang berdasarkan pada teori dan data empiris.

(Red)

Silahkan Komentar Anda

Tampilkan


Portal Update


PORTAL OLAHRAGA

+

PORTAL OTOMOTIF

+

X
X
×
BERITA UTAMA NEWS
-->