[PORTAL NEWS] -- Penduduk asli Suku Toraja adalah mereka yang mendiami wilayah terpencil di pegunungan.
Penduduk asli ini tinggal menetap di kawasan pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Secara geografis, mereka menyebar di Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara dan sebagian wilayah Mamasa.
Dalam tradisi leluhur masyarakat Toraja, mereka masih menganut kepercayaan tradisional yang dikenal dengan nama "Aluk Todolo". Perilaku dan kentalnya nuansa adat kepercayaan leluhur ini bisa disaksikan pada upacara adat Rambu Solo (upacara kematian).
"Agama leluhur" Aluk Todolo juga mempengaruhi masalah gender di masyarakat Toraja itu sendiri.
Mereka rupanya tak hanya mengenal pria dan wanita saja, tapi ada gender ketiga. Gender inilah yang disebut To Burake.
Secara harafiah, "To" artinya orang dan Burake adalah sebutan orang Toraja bagi kelompok gender ketiga di Toraja.
Ia bisa berjenis kelamin pria yang berpakaian dan bertingkah seperti perempuan, atau sebaliknya.
To Burake Tattiu' adalah mereka yang berjenis kelamin lelaki berbaju perempuan Toraja.
Ada pula To Burake Tambolang artinya mereka yang berjenis kelamin perempuan berbaju lelaki Toraja.
Penyebutan To Burake tidak boleh asal sembarang. Sebab, mereka punya peranan penting bagi penganut kepercayaan Aluk Todolo.
Tugasnya pun tidak mudah. Mereka yang dianggap To Burake harus paham tentang adat atau aluk, dan kehidupan di dunia dan para Dewa.
To Burake dianggap sebagai pemimpin atau orang yang begitu dihormati di sebuah kampung. Layaknya pendeta, mereka punya peran strategis dalam menentukan ritual keagamaan.
Pada kepercayaan Aluk Todolo, To Burake Tambolang memiliki peran yang krusial karena dianggap sebagai pemimpin atau imam dalam pelaksanaan ritual keagamaan.
Seperti ritual syukur Bua’ Kasalle atau menempati rumah baru dan ritual yang berkaitan dengan aktivitas bercocok tanam, seperti mengawali tanam padi dan panen raya. Sebab itu To Burake Tambolang adalah orang yang begitu disegani dan dihormati.
Berperan sebagai To Burake (Tambolang) tidak mudah, sosok ini harus memiliki pengetahuan tentang adat, aluk, kehidupan di dunia dan kehidupan para Dewa.
Menjadikan To Burake Tambolang sebagai pemimpin bukan tanpa sebab. Dilansir dari berbagai sumber, hal ini berdasar pada nilai yang diamini agama Aluk Todolo di mana alam semesta atau jagat raya memiliki sifat dualitas.
Contohnya seperti siang dan malam, langit dan bumi (dunia atas dan bawah), dewa dewi di langit dan dewa dewi di bawah. Nah, To Burake Tambolang dianggap sebagai sosok yang mencerminkan kesatuan dan keseimbangan antara elemen laki-laki dan perempuan.
Penganut agama Aluk Todolo percaya bahwa To Burake Tambolang merupakan seorang yang suci dan sudah bertemu para dewa, karena itu To Burake Tambolang dianggap sebagai penghubung manusia kepada dewa dewi yang disebut Puang Matua atau sang pencipta.
Namun, seiring berjalannya waktu tepatnya sejak tahun 1923 peran To Burake Tambolang semakin terkikis sejak masuknya agama-agama lain sehingga terjadi pergeseran budaya.
To Burake akan memimpin ritual doa (Ma'pesung), seperti saat menempati rumah adat Tongkonan baru atau saat panen raya. Termasuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk melakukan Ma'pesung.
Dalam memimpin Ma'pesung, To Burake akan melantunkan bait-bait mantra di depan sesaji. Isi sesajennya ada ayam rebus, kalesong (ketan yang dibungkus daun dan direbus) dan tuak.
Konon masyarakat percaya, rumah atau sawah yang didoakan oleh To Burake akan diberi keberkahan. Sebab penganut kepercayaan Aluk Todolo yakin To Burake sudah bertemu dengan dewa sang pencipta.
To Burake ini dipercaya sebagai penghubung antar manusia dan Puang Matua atau dewa sang Pencipta. Itulah kenapa To Burake sangat disegani oleh penganut Aluk Todolo.
Namun, seiring berjalannya waktu, peran To Burake bisa dikata sudah punah. Walaupun jika berkunjung ke Toraja, kita akan berpapasan dengan ada banyak transgender.
Keberadaan mereka terkikis sejak masuknya agama Kristen ke Toraja. Kehadiran agama monoteisme telah membawa banyak pengaruh sehingga terjadi pergeseran budaya dan peradaban modern bagi masyarakat Toraja.
Nilai agama dan konstruksi sosial yang memandang To Burake Tambolang secara berbeda membuat peran gender ini dalam acara keagamaan Aluk Todolo secara tidak langsung terlenyapkan.
Kini, kepercayaan Aluk Todolo dipimpin oleh laki-laki, yang juga memiliki peran sebagai pemimpin ritual keagaamaan termasuk Rambu Solo. (Red)