BEM PTMI : Undang - Undang Cipta Kerja Inkonstitusional, DPR dan Pemerintah Buta dan Tuli Terhadap Aspirasi Rakyat dan Putusan MK

Redaksi PortalNews
BEM PTMI : Undang - Undang Cipta Kerja Inkonstitusional, DPR dan Pemerintah Buta dan Tuli Terhadap Aspirasi Rakyat dan Putusan MK


Jakarta, Portal News - Koordinator Presidium Nasional BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia, Andar Adi Satria mengatakan bahwa tindakan ini harus dilawan bersama-sama. Ini adalah bentuk kezaliman yang nyata dilakukan oleh legislatif dan eksekutif.


"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 mengabulkan

pengujian uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Putusan ini dimaksudkan untuk mengakhiri persengketaan maupun 

perbedaan tafsir terhadap suatu ketentuan. Pada kenyataannya, Putusan ini justru menimbulkan dualisme terkait keberlakuan UU Cipta Kerja, karena 

di satu sisi UU tersebut dinyatakan inkonstitusional, namun di sisi lain UU ini tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Disimpulkan bahwa makna inkonstitusional bersyarat dalam Putusan ini adalah pembentukan UU No. 11 

Tahun 2020 bertentangan terhadap UUD 1945 atau inkonstitusional bersyarat (temporer). Status inkonstitusional temporer ini digantungkan pada syarat 

berupa kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan 

perbaikan terhadap pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 untuk jangka waktu 2 (dua) tahun. Adapun dalam masa waktu 2 (dua) tahun tersebut, UU Cipta Kerja tetap berlaku berdasarkan point ‘4’ dan ‘6’ amar putusan." Lanjutnya


"Terkait Perppu Cipta Kerja yang di sahkan, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) PP Muhammadiyah menilai bahwa, baik Perppu Cipta Kerja tersebut maupun Undang-undangnya itu sendiri masih bersifat inkonstitusional dan tidak memenuhi syarat formil berdasarkan pengesahan undang-undang. 


Tak hanya itu, Ketua Bidang Riset dan Advokasi Kebijakan Publik LBHAP PP Muhammadiyah, Gufroni juga menambahkan, bahwa terdapat beberapa isu yang menunjukkan penyebab Perppu Cipta Kerja yang kemudian diundangkan bersifat inkonstitusional dan tidak memenuhi syarat formil pengesahan undang-undang". Kutip Andar


Kami melihat ada beberapa pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, di antaranya sebagai berikut :


Pasal 59

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.


Sementara UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.


Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.



Pasal 79

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan.


Pasal 79 ayat (2) huruf (b) UU Cipta Kerja mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.


Selain itu, Pasal 79 UU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.


Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.


Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


Pasal 88

UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan.


Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.


Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.


Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.


Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".


Pasal-pasal UU Ketenagakerjaan yang dihapus aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja. Penghapusan ini tercantum dalam Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan.


Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.


Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.


Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 58 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 169 UU Ketenagakerjaan.


Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.


Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.


Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.


Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.


Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja

Dengan Melirik berbagai Problem Yang ada Di dalam undang undang cipta kerja, saya mengajak kepada seluruh Akademisi, Mahasiswa, Buruh Tani, Dan Rakyat Indonesia pada Umumnya. Kita lawan Kezaliman yang terstruktur, sistematis dan masif ini dengan kebaikan yang terstruktur, sistematis dan masif juga. Semoga Tuhan Meridhoi Perjuangan Kita. (Rls)

Tags