Makassar, Portal News - Banjir bandang yang terjadi di WALMAS Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan pada 3 Oktober 2021 lalu bukan tanpa alasan. Sebelumnya WALMAS merupakan wilayah rawan banjir.
Hasil riset dan kajian WALHI Sulsel, WALMAS saat ini
mengalami kondisi kerusakan ekologi yang cukup parah, salah satu hal nyata
yaitu rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) Lamasi.
Berdasarkan hasil Konferensi Pers yang dilakukan WALHI Sulsel
pada hari selasa 19 Oktober 2021. Slamet Riadi selaku Kepala Departemen
Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel memaparkan kondisi ekologis yang rusak parah
di Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan.
Bencana ekologis yang terjadi di Kabupaten Luwu menimpa 6
Kecamatan dan 14 desa. Dampak dari bencana ekologis ini mengakibatkan 4 orang
meninggal dunia, 771 kk/3.084 terdampak kerugian materil, 5 unit rumah roboh,
771 unit rumah terdampak, 15 hewan ternak hanyut. Kemudian 1.432 Ha lahan terdampak
dan 150 meter tanggul yang jebol.
Slamet menyampaikan ada 3 pendekatan dalam melihat bencana WALMAS yakni ciri fisik dan bentang alam, kapasitas infiltrasi, dan proteksi serta tata kelola sumber daya alam. Ciri fisik dan bentang alam Lamasi merupakan wilayah dengan ketinggian 0-25 meter meliputi luas 16, 58 %, 100-500 meter seluas 22, 03 %. 500-1000 seluas 18,34 % dan 1000 meter seluas 23, 62 %.
“Bentang alam di wilayah WALMAS memiliki kontur bergunung dan
berbukit rentan terhadap erosi. Belum lagi jika melihat tingkat kemiringan
wilayah di WALMAS yang cukup besar masuk kategori miring berbukit dan agak
curam,” jelas Kepada Departemen Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel.
“Rendahnya kapasitas infiltrasi atau jenis tanah yang rawan,
jenis tanah di lamasi yaitu jenis latosol, tanah podsolik dan jenis tanah
mediteran. Jika dikategorikan kedalam kelas tanah, maka diperoleh data yang
menunjukkan kelas tanah di Luwu didominasi oleh lahan kelas VI atau jenis tanah
yang rawan longsor,” lanjutnya.
Slamet menambahkan bahwa Das Lamasi berada di tiga wilayah
administrasi, yakni toraja utara, Kabupaten Luwu, dan Kabupaten Luwu Utara. Selain itu,
DAS Lamasi memiliki keterkaitan erat dengan DAS Rongkong yang merupakan sering
terjadi luapan banjir di wilayah hilir sungai lamasi dan sungai Rongkong.
Deforestasi di DAS lamasi seluas 1.733,55 ha atau sekitar 7,6 % dari luasan
DAS.
“Salah satu penyebab dari kerusakan ekologis yang berdampak
pada bencana alam yaitu adanya wilayah pertambangan yang berada di hulu DAS
Lamasi tepatnya di Kecamatan Walenrang Barat,” ungkap Slamet.
Saat ini terdapat perusahaan yang melakukan eksploitasi di
wilayah tersebut yakni pertambangan dengan komoditas galena oleh PT Bintang
Utama Abadi dengan luas konsesi sebesar 377 Ha.
“Keberadaan dan aktivitas pertambangan galena yang dilakukan
oleh PT BUA di Hulu DAS Lamasi dengan aktivitas pembukaan hutan dan peledakan
yang diduga menjadi salah satu faktor menurunnya jasa lingkungan DAS Lamasi,”
jelasnya.
Adapun empat rekomendasi dari WALHI Sulsel dalam konferensi
pers ini yakni:
1. Mengadakan program trauma healing
untuk para penyintas bencana
2. Membentuk tim pengelolaan dan
pengawasan DAS Lamasi secara terpadu dan terintegrasi dengan masyarakat local.
3. Meninjau ulang lokasi wilayah
peruntukan pertambangan dan lebih memprioritaskan perlindungan kawasan hutan
utamanya di daerah hulu.
4. Melakukan audit lingkungan perizinan
PT Bintang Utama Abadi yang masuk dalam wilayah rawan bencana dan hutan lindung.
Penulis : Andika
Editor : Zainuddin Bundu