√ OPINI: Kepercayaan Publik Kian Berkurang, Wajibkah Lembaga Survei Umumkan Hasil Surveinya, Apa Manfaatnya Bagi Rakyat?- Portal News - Media Investigasi Pembaharuan Nasional

Jelajahi

Copyright © Portal News
Created with by Portal News
PT ZIB Group Templates

Iklan

Iklan

iklan-portal-news

OPINI: Kepercayaan Publik Kian Berkurang, Wajibkah Lembaga Survei Umumkan Hasil Surveinya, Apa Manfaatnya Bagi Rakyat?

Jumat, 02 Februari 2024, Februari 02, 2024 WIB Last Updated 2024-02-01T23:49:21Z

OPINI: Kepercayaan Publik Kian Berkurang, Wajibkah Lembaga Survei Umumkan Hasil Surveinya, Apa Manfaatnya Bagi Rakyat?

Oleh Ishak Yswandi *)


MENGAPA Lembaga Survei itu suka "cari muka" kepada rakyat terutama saat ada momen-momen politik seperti pemilihan presiden (pilpres) atau pemilihan kepada daerah (pilkada)??? 


Ada yang tahu jawabannya? 


Apakah mereka sedang cari popularitas? Atau sedang "jualan" hasil kutak-katik angka sesuai keinginan sang Pemesan???


Padahal untuk melakukan survei apalagi yang menggunakan metodologi tatap muka langsung, door to door, dengan sistem one man one vote, itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 


Konon untuk survei per satu provinsi saja duit 2 M dinilai terlalu kecil (besaran jumlah sampling bervariasi, terendah 1.000 terbanyak sampai 5.000 sampel). 


Tulisan ini adalah asumsi penulis sendiri berdasarkan riset, hasil perbincangan talkshow di sejumlah media, radio, youtube, dan bisik-bisik tetangga. 


Jadi apa maksud Lembaga Survei selalu jor-joran hamburkan hasil "kerajinan tangan" atau prakarya mereka? 


Sebelumnya kita bahas dulu soal ancer-ancer anggaran yang mereka susun, yang biasanya Pollster ini buat dalam Bentuk Buku Proposal dan nantinya akan ditawarkan kepada Sang Pemesan (klien), baik individu maupun kepada lembaga/parpol, perusahaan dan sebagainya. 


Ternyata biaya yang diminta Pollster (tukang survei) itu komponennya meliputi : 


1. Biaya Survei real cost misalnya untuk 5 Provinsi Besar 

(Jika per 1 provinsi misalnya anggarannya Rp1-2M dikali 5 provinsi = kisaran 5-10M)


2. Biaya Penyebarluasan (blow up) hasil survei tersebut ke sejumlah Media Pers dan para Influencer di Sosial Media dengan jumlah followers besar atau bisa juga orang berpengaruh/artis/selebriti.


(Misalnya: untuk 30 Media Besar dan grupnya masing masing contoh Kompas Grup: Kompas TV, Koran Kompas, Web Online Kompas.id,  dan YouTube  Kompas. Biaya tayang berita dan pernak-perniknya taruhlah sekira Rp5M. 


Itu baru 1 grup media. Belum media besar lainnya. Anggap saja Rp5 M dikali 20 = Rp100M + Influencer 30 org, tarif rata-rata 500 juta s.d 1 M tergantung jumlah followers dikali 20 orang = 15-20 M) 

Total utk media blow up: anggap saja Rp100-150 M dengan sistem paket.


Tentu ini bukan biaya sedikit apalagi jika kita bicara tentang Capres yang akan mengelola keuangan negara ribuan Trilyun rupiah. 


3. Biaya Tambahan untuk BuzzeRp yang bekerja 1 x 24 jam untuk menggoreng dua bahan tadi. 

Bahan pertama, tentunya hasil survei dari Polster klien. 

Yang kedua, buzzer ini meresonansi atau mendengungkan tentang para Influencer yang ikut mendukung dan men-share hasil survei "pesanan" tadi. 

(Nominal anggaran tentative, tergantung kesepakatan dan model kerjasama. Anggap saja Rp500 juta/bulan untuk BuzzeRp yang punya 50-100 anggota/tim)

Anggap saja Pemesan mengeluarkan cost untuk BuzzeRp per 1 kali musim politik (durasi kerja 8-12 bulan), sehingga untuk komponen ini akumulasinya taruhlah sekitar Rp5M.


4. Biaya Tambahan jika merangkap pula sebagai Konsultan Politik.

Ada pameo mengatakan, semakin rendah hasil survei elektabilitas, maka akan semakin mahal biaya konsultan politik.

(Nominal anggaran tentative, tergantung lama masa kerja, target, dan infrastruktur pendukung. Anggap saja budget untuk komponen ini sekira Rp3-5 M per tahun)



Sehingga total poin 1-4 secara akumulasi bisa mencapai 170-an Milyar, per satu kali teken kontrak dengan sebuah lembaga survei, belum lagi jika ada klausul tambahan, misalnya Klien mereka minta hasil survei bulanan minimal 1 kali sebulan, dan frekwensinya dihitung untuk durasi selama delapan bulan detik-detik jelang hari H Pilpres atau Pileg, bisa jadi budget cost mereka akan semakin mahal.


Akan tetapi apalah arti uang, bagi kaum kapitalis yang ingin bisnisnya tetap langgeng, iya kan? Lagi pula uang 100M atau 200M bagi oligarki adalah uang kecil, anggap saja sedekah lima tahunan sekali.


Namun konsultan yang merangkap lembaga survei ini, untuk bisa mengubah opini (mindset) publik jika cuma 1 lembaga saja akan terkesan "pesanan" sehingga supaya lebih terlihat alami atau "normal" maka oligarki harus menyiasatinya dengan memborong sekaligus 5 sampai 10 lembaga dengan hasil survei yang sama. 


Disinilah penulis menilai, ada upaya sistematis membentuk sebuah "kebenaran" subyektif menjadi seolah-olah sangat objektif, natural/alami, seolah-olah tanpa rekayasa. Meskipun untuk membuktikan sinyalemen ini tentu sangat sulit, namun analisis pikiran kita tak perlu bukti empirik, biarlah nanti waktu jua yang akan menjawab ini semua, itupun jika Tuhan berkehendak. 


Jadi apa sebenarnya manfaat bagi tukang survei yang selalu memblow-up hasil kerja lembaganya itu???


Jika anda membaca secara runut tulisan ini dari awal, maka jawabannya tentu semakin membuat anda dan kita semua menjadi paham, bahwa tujuan lembaga survei tersebut memblow-up jasanya, yakni: 


1. Sebagai tindaklanjut kerjasama / MOU dgn Si Pemesan (Klien) yang ada 4 (empat) komponen biayanya tadi itu. Meski kadang ada juga pemesan yang hanya sampai di poin ketiga. Poin ke-4, karena untuk menjadi konsultan sekaligus agak berat, biaya maintenance dan entertaint-nya cukup besar. 


2. Sebagai bahan untuk Menggiring Opini Publik dengan cara yang sangat rapi dan terstruktur, sistemik.


Calon yang berada di posisi 3 misalnya bisa terbentuk citranya di tengah masyarakat seolah-olah dia yang berada nomor 1, sehingga terus jadi Bahan Perbincangan Publik. 

(Cuci otak / doktrin mindset publik) 


Kasus salah persepsi sebuah lembaga survei sangat kasat mata terlihat dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dimana salah satu lembaga menempatkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, waktu itu, tidak lolos ke putaran kedua, karena hanya berada di posisi nomor 3. 


Hampir semua lembaga survei dibantu media mainstream dan buzzer maupun influencer mengunci posisi Anies di peringkat yang tidak diperhitungkan, sebaliknya, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai gubernur incumbent berada di posisi paling atas, apalagi kekuasaan (baca: presiden) cenderung memihak ke kubunya. 


Sehingga penulis menyimpulkan, bahwa satu-satunya lembaga yang bisa menyebar "hoax" ke tengah masyarakat dan aman dari jeratan hukum hanyalah "lembaga survei".  Media pers maupun produk jurnalistik sekalipun masih rawan terkena "delik pers" jika membuat tulisan atau berita keliru alias hoaks. 

Ancamannya kalau bukan UU ITE bisa jadi pencemaran nama baik.


Tetapi jika lembaga survei salah atau keliru maka hanya dianggap bias, karena selalu dipersepsikan karya mereka adalah karya ilmiah, by data, analisis, bla bla bla.....


3. Faktor bonafiditas lembaga 


4. Faktor cuan atau wani piro (duit).


Semoga tulisan ini sedikit mencerahkan, meskipun baru sebatas opini yang argumentasinya bisa saja lemah, dan bisa saja tak terbantahkan tapi memerlukan waktu yang relatif lama untuk kemudian dapat membuktikan kebenarannya.


Wallahu'alam bissawab.


SEKIAN


*) Penulis adalah jurnalis independent

Silahkan Komentar Anda

Tampilkan


Portal Update


X
X
×
BERITA UTAMA NEWS
-->